Kemarin malam, 09 April 2015, Pesantren Tebuireng mengadakan acara memperingati 40 hari wafatnya Al Maghfurlah, KH. Ishak Latif di Masjid Tebuireng. Beliau dipanggil oleh Sang Pencipta pada hari Jum’at, 27 Februari 2015 yang lalu, pada usia 75 tahun.
Gus Fahmi Amrulloh, pengasuh Pesantren Tebuireng Putri, dalam sambutannya menyampaikan bahwa Kiai I...shak Latif adalah sosok yang 'unreplaceable' (sosok yang tak tergantikan). Gus Fahmi menegaskan bahwa walaupun dirinya diberikan amanah untuk melanjutkan pengajian kitab Yai Ishak, dengan rendah hati beliau mengaku belum bisa menggantikan sosok se'alim Kiai Ishak Latif, dan meminta kepada para santri agar jangan membandingkannya dengan Yai Ishak, karena memang tidak sebanding. Gus fahmi bersedia melanjutkan pengajian Yai Ishak, semata-mata karena cinta dan ta’dzimnya kepada sang Yai dan demi keberlangsungan pengajian kitab kuning di Tebuireng.
Yai Ishak Latif, hampir sepanjang hidupnya (50 tahun-an) ditasarufkan hanya untuk ‘ngabdi’ di Tebuireng. Pada umur 13-15 tahun, beliau sudah ‘nyantri’ di Tebuireng, dan pada usia 30 tahun, sudah mengajar di Tebuireng hingga akhir hayatnya.
Begitu besar cintanya Sang Yai dengan ilmu dan masa depan Tebuireng, hingga sampai akhir hayatnya tetap melajang (belum beristri). Semoga kezuhudan dan pengorbanan beliau digantikan oleh Allah SWT dengan istri-istri Yai di Surga kelak. Amin.
Dalam dunia tokoh-tokoh Islam, kita kenal dengan seorang ulama pecinta ilmu sejati. Adalah Al-Imam al-Allamah Abu Zakaria Muhyiddin bin Syaraf an Nawawi ad-Dimasyqi, yang lebih dikenal dengan Imam Nawawi. Ia lahir pada tahun 631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah Damaskus, yang sekarang merupakan ibukota negara Suriah, dan wafat pada tahun 676 H pada usia 45 tahun.
Ia adalah sosok pecinta ilmu sejati. Ia telah hafal Al-Qur’an sebelum genap usia baligh. Semasa hidupnya, ia tidak menikah (lajang). Waktunya dihabiskan untuk selalu menyibukkan diri dengan menuntut ilmu, menulis kitab, menyebarkan ilmu, ibadah, wirid, puasa, dzikir, sabar atas terpaan badai kehidupan. Pakaian dia adalah kain kasar, sementara serban dia berwarna hitam dan berukuran kecil.
Ia menggunakan banyak waktunya dalam ketaatan. Sering tidak tidur malam untuk ibadah atau menulis kitab. Dalam umur yang hanya 45 tahun, karya-karya Imam Nawawi lebih dari 40 kitab dalam berbagai bidang ilmu agama. Diantara karyanya yang populer dalam bidang Fiqih adalah Minhajuth Thalibin, Raudhatuth Thalibin, dan Al-Majmu’.
Begitulah kiranya, sosok Yai Ishak Latif tak ubahnya seperti sosok Imam Nawawi, yang karena begitu besar cintanya dengan ilmu dan kemajuan agama islam, rela meninggalkan gemerlapnya dunia termasuk sunnatulloh menikah. Mereka adalah para pecinta ilmu sejati. Kenikmatan ilmu-ilmu Allah begitu besar melekat di hati, sehingga kenikmatan dunia seisinya tak ada apa-apanya dibanding ilmu-ilmu Allah.
Semoga kita, para santri Yai Ishak, bisa mengambil suri tauladan dari keihlasan, pengorbanan dan pengabdian Beliau.
Selamat jalan Yai. Selamat jalan Imam Nawawi-nya Tebuireng.
Walau jasadmu telah pergi, akan tetapi ilmu-ilmumu akan tetap hidup selamanya.
Jasa-jasamu akan selalu dikenang sepanjang masa.
* In Memoriam 40 hari wafatnya Yai Ishak Latif.
by Emha Sy.
0 Response to "KH. ISHAK LATIF, ‘IMAM NAWAWI’NYA TEBUIRENG"
Posting Komentar